Tentang Kami

Pdt Dr. Stephen Tong: My Protestant Hero

(oleh Pdt. Titus Ndoen, Gembala Sidang GRII BSD dan MRII Gading Serpong)
[Diambil dari buku Pdt. Stephen Tong yang kami kenal, h. 85-93]

Saya pertama kali mendengar khotbah Pak Tong melalui kaset tahun 1992. Karena kecepatan dan ‘logat’ beliau, saya awalnya berpikir beliau adalah seorang misionaris dari Korea. Saya masih ingat dengan jelas isi khotbah beliau pada waktu itu, beliau menyerang ajaran filsafat yang bertentangan dengan Kitab Suci. Dua tahun kemudian Sinode Gereja Masehi Injili di Timor bekerja sama dengan STEMI (Stephen Tong Evangelistic Ministries International) mengadakan KKR di kota Kupang selama 3 hari berturut-turut dengan tema ‘Dosa, Penderitaan dan Kematian’.

Pada waktu itu, di satu sisi Gerakan Pentakosta dan Kharismatik sedang berkembang dengan pesatnya di kota Kupang. Mereka sering mengadakan KKR dan seminar baik di dalam ruangan maupun di lapangan terbuka dengan mengundang banyak pendeta dan artis terkenal. Di sisi lain, pada waktu itu GMIT, sebagai gereja Protestan terbesar di NTT (Nusa Tenggara Timur), juga semakin merosot dalam semangat penginjilannya. Tidak sedikit pendeta-pendeta GMIT yang menjadi sangat liberal dalam teologinya. Khotbah-khotbah yang disampaikan terasa sangat kering, hambar dan monoton. Akibatnya banyak anggota GMIT yang berpindah ke gereja-gereja Pentakosta atau Kharismatik.

Keluarga kami pada waktu itu berusaha untuk tetap berkomitmen kepada GMIT sehingga kami tetap bergereja di GMIT walaupun kebutuhan rohani kami tidak terpenuhi. Untuk mendapatkan ‘makanan rohani’ tambahan saya kadang-kadang mengikuti kebaktian sore di gereja-gereja Pentakosta atau Kharismatik, juga ke persekutuan-persekutuan doa yang menjamur saat itu. Ibadah dan khotbah mereka yang ‘hidup’ dan merupakan faktor penarik yang sangat kuat untuk menjadi anggota mereka. Tapi satu hal yang masih mengganjal saya adalah serangan mereka yang terus menerus kepada ajaran tentang baptisan percik yang diajarkan dan dipraktekkan oleh GMIT. Pada waktu itu saya tidak mengerti bagaimana menjawabnya tapi hati saya masih tetap yakin bahwa Baptisan percik itu Alkitabiah. Pada waktu itu saya benar-benar merasa saya berada di persimpangan jalan.

Dua minggu sebelum KKR Pdt. Stephen Tong, yang disebutkan di atas, Gerakan Pentakosta mengadakan KKR di lapangan yang sama dengan mengundang mendiang Pdt. Jeremia Rim dari Surabaya. Khotbah yang disampaikan baik dan sangat bersifat ‘menginjili’ , menantang orang untuk sungguh-sungguh bertobat. Hal ini makin mendorong saya untuk meninggalkan GMIT.

Dua minggu kemudian, datanglah Pdt. Dr. Stephen Tong. Saya sangat kaget dan terkejut memandang dan mendengar khotbahnya. Dalam hati saya, saya berkata, “Ternyata ada juga pendeta protestan yang bisa berkhotbah dengan berapi-api seperti ini”. Beliau sangat berani dan tegas dalam menyampaikan firman Tuhan. Khotbah beliau tahun 1994 ini terus menempel di pikiran dan hati saya, bahkan sampai hari ini. Kalimat-kalimatnya begitu segar , tajam dan berkuasa, sehinga benar-benar seperti keluar dari mulut Tuhan Allah sendiri. Kalimat-kalimat itu masih saya pakai sampai hari ini dalam pelayanan saya.

Dalam seminar yang diadakan pada hari kedua, ada seseorang yang memprotes foto cover dari buku ‘Apa itu Baptisan’ yang di dalamnya pak Tong memberi Kata Pengantar. Foto dari cover buku itu adalah Yohanes Pembaptis sedang membaptis Kristus dengan cara ‘memerciki/menuangkan’ air ke atas-Nya.’ Orang itu mengatakan bahwa gambar itu menyesatkan karena menurutnya Tuhan Yesus pasti dibaptis secara selam karena pembaptisan itu diadakan di sungat Yordan. Pak Tong menjawab
orang itu dengan memberikan pertanyaan, “Apakah kamu sudah pernah ke Sungai Yordan?”.
Jawaban pak Tong ini mengundang tawa dan tepuk tangan dari peserta seminar yang mayoritas merupakan jemaat GMIT. Apalagi orang yang bertanya itu tidak pernah ke sungai Yordan. Pak Tong melanjutkan dengan pertanyaan berikut, “ Tahu tidak kalau pada musim panas sungai itu airnya bisa sangat dangkal?” . Orang itu terdiam. Setelah itu Pak Tong menjelaskan secara detail tentang baptisan dari makna, formula, elemen sampai kepada cara baptisan. Penanya itu masih tidak puas dan berargumentasi balik bahwa orang Israel dibaptis dalam Laut Teberau. Pak Tong dengan tegas mengatakan, “Tahu tidak kalau orang Israel itu tidak dibaptis dalam air. Orang Israel berjalan di tengah-tengah bentangan air Laut Teberau yang dibelah oleh Tuhan. Mereka tidak ditenggelamkan dalam air laut. Mereka hanya kena percikan-percikan air. Justru orang Mesirlah yang ditenggelamkan ke dalam air.” Kali ini jawaban pak Tong benar benar disambut dengan tepuk tangan yang lebih keras. Ruangan GMIT Agape penuh dengan suara tepuk tangan akibat jawaban pak Tong yang lantang dan tidak terduga sama sekali.

Hati saya dipenuhi sukacita yang luar biasa. Terjawab sudah kebimbangan saya selama itu. Saya sempat ragu-ragu terhadap baptisan percik karena sering mendengar semua serangan dari orang Pentakosta atau Kharismatik. Dan selama itu, pendeta-pendeta GMIT hanya memberikan jawaban yang bersifat defensif dengan mengatakan bahwa ‘baptisan itu hanya lambang,’ ‘cara baptisan tidak menyelamatkan’ dan sebagainya. Pak Tong menambahkan lagi satu argumentasi yang mendukung baptisan percik. Beliau mengatakan bahwa baptisan percik justru lebih Alkitabih karena melambangkan Roh Kudus yang dicurahkan dari atas. Baptisan selam justru tidak bisa menggambarkan hal itu, karena orang yang akan dibaptis terlebih dulu harus menginjak air. “Bukankah itu berati kalian menginjak-injak Roh Kudus?” kata Pak Tong. Sekali lagi jemaat bertepuk tangan. Saya benar-benar diteguhkan oleh jawaban pak Tong. To me, Pak Tong is my protestant hero. Kalau tidak ada beliau mungkin saya telah meninggalkan Gereja dan pengajaran Protestan.

Sejak KKR dan seminar pak Tong tahun 1994 di kupang, saya menjadi pengikut rahasia Pak Tong melalui buku-bukunya. Tiga tahun kemudian ketika melanjutkan studi ke Surabaya, saya langsung mencari GRII untuk berbakti. Ketika mengikuti SPIK di surabaya tahun 1997/1998 Tuhan meneguhkan kembali panggilan-Nya kepada saya untuk melayani-Nya sepenuh waktu melalui khotbah Pak Tong. Kemudian saya melanjutkan studi di Sekolah Teologi Refomed Injili Surabaya (STRIS), suatu sekolah teologi yang didirikan beliau untuk menyediakan pendidikan Teologi Reformed bagi jemaat awam. Harus saya akui di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya bahwa semangat untuk belajar teologi dan penginjilan itu saya dapatkan dari Tuhan melalui Pdt. Stephen Tong. Saya makin diteguhkan untuk menyerahkan diri sepenuh waktu untuk melayani Tuhan melalui Pak Tong. Kemudian saya melanjutkan studi di STT yang dipimpin Pdt. Joseph Tong, adik dari pak Stephen Tong. Setelah itu saya melayani selama 1 tahun di GRII Gempol sebelum akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk studi di London Thelogical Seminary, sebuah sekolah yang didirikan oleh Dr. Martyn Lloyd Jones di UK. Dalam banyak hal saya dipengaruhi tiga orang besar ini: Pak Stephen Tong, Pak Joseph Tong dan Dr. Martyn Lloyd Jones. Tapi di antara ketiga orang ini, saya harus akui bahwa Pdt. Stephen Tong memegang peran yang paling dominan dalam mempengaruhi hidup dan pelayanan saya.

Hidup , ajaran dan pelayanan Pdt. Stephen adalah surat terbuka yang menerangkan tentang siapa beliau sesungguhnya. Beliau dapat dikenal melalui hidup, ajaran dan pelayanannya. Beliau tidak pernah takut untuk membiarkan dirinya dipertimbangkan oleh manusia.

Di tahun ke-60 dari pelayanan beliau ini saya mencoba menekankan beberapa hal dari beliau yang saya terus amati dan berusaha untuk saya hidupi dengan anugerah Tuhan sampai hari ini.


Kepekaan dan Ketaatan beliau pada pimpinan dan kehendak Tuhan

Banyak keputusan yang beliau ambil untuk mengadakan pelayanan yang berskala besar selalu terkesan ‘tiba-tiba’, dan kelihatannya sangat tidak mungkin dan untuk dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Tetapi Tuhan mengkonfirmasi semua keputusan yang beliau ambil. Acara-acara besar seperti KKR Natal, KKR Paskah, KPIN, SPIK, konser musik, khususnya konser keliling 7 kota yang diadakan tahun ini (2017), dan masih banyak lagi keputusan beliau yang kita sebut ‘dadakan’ tapi
beliau dengan yakin menyatakan bahwa keputusan-keputusan itu ada dalam pimpinan Tuhan. Setelah semua acara selesai, kita bisa melihat dengan lebih jelas lagi bahwa beliau memang betul-betul dipimpin Tuhan secara khusus untuk memimpin suatu gerakan besar dalam Kerajaan Allah.
Beberapa orang GRII mencoba untuk menafsirkan kepekaan pak Tong ini dengan mengatakan bahwa beliau adalah seorang yang pintar membuat strategi karena belajar dari sejarah kerajaan-kerajaan Tiongkok zaman dulu, tetapi saya percaya bahwa beliau memang dipimpin Tuhan secara khusus, selain tentunya ada faktor-faktor lain yang juga dipakai Tuhan untuk menyatakan kehendak-Nya kepada beliau.


Keluasan hatinya

Beliau adalah Hamba Tuhan yang melayani segala bangsa. Apa yang beliau tulis dalam lagu Kemana Saja, betul-betul beliau hidupi. Salah satu kalimat dalam lirik lagu “Kemana Saja” yang digubah olehny adalah ‘Dalam kota besar atau dalam rimba, jiwa sama berharga di matamu”. Rekan-rekan hamba Tuhan yang direkrut beliau untuk melayani bersama dalam gerakan Reformed Injili yang dipimpinnya juga berasal dari berbagai latarbelakang yang berbeda-beda. Jemaat yang beliau layani juga sangat internasional (dari segala suku, bangsa, dan bahasa). Walaupun beliau berdarah Tionghoa, tetapi hatinya bukan hanya untuk orang Tionghoa.

Nasihat dari mendiang ibunda terkasih dari beliau senantiasa diingat oleh beliau, yang berbunyi kurang lebih demikian ‘Jumlah orang yang akan dipercayakan Tuhan kepadamu untuk dilayani tergantung pada seberapa luas hati kamu’. Dengan kata lain, makin luas hati kita, maka makin banyak orang yang akan Tuhan percayakan kepada kita untuk dilayani dan diperlengkapi menjadi alat yang berguna dalam Kerajaan Allah. Secara pribadi saya sangat merasakan keluasan hati pak Tong ketika saya diterima dalam Gerakan Reformed Injli Indonesia. Ada suatu peraturan di GRII yaitu hanya mereka yang lulus dari STTRII saja yang boleh melayani di dalam Gerakan Reformed Injili Indonesia. Walaupun saya mengikuti pak Tong secara rahasia, dan bahkan pernah melayani satu tahun di GRII Gempol di bawah bimbingan Pdt. Rudy Pranoto, namun karena saya bukan lulusan dari STTRII, maka tentunya menjadi kesulitan yang tersendiri bagi GRII untuk menerima saya. Pak Tong juga mempunyai suatu hukum yang namanya ‘exception’. Sampai sekarang saya tidak tahu dengan jelas mengapa beliau mau menerima saya, tetapi yang jelas saya percaya karena hatinya yang luas dan sangat peka kepada pimpinan Tuhan. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan dan kepada beliau yang telah dipakai Tuhan sebagai alat ditangan-Nya untuk memasukan saya ke dalam Gerakan Reformed Injili Indonesia.

Semangat Perjuangannya (His Fighting Spirit)

Enam puluh tahun pelayanan beliau merupakan bukti yang sangat jelas tentang kesetiaan beliau terhadap panggilan Tuhan dan juga kesetiaan Tuhan dalam memelihara pelayanan yang dipercayakan kepada beliau. Masa 60 tahun pelayanan ini juga merupakan hasil dari perjuangan dan kegigihan beliau yang memiliki pengaruh besar kepada semua jemaat yang dipimpin dan dilayaninya.
Tak ada seorang hamba Tuhan, pengurus/majelis gereja, dan jemaat GRII yang berani untuk mengeluh di depan beliau karena perjuangan beliau dalam melahirkan dan membesarkan gerakan ini tidak bisa dibandingkan dengan semua yang telah dan sedang dilakukan oleh seluruh jemaat GRII.
Dalam perjuangan beliau ada pengorbanan yang juga besar, waktu tenaga dan pikiran beliau benar-benar diperas habis. Istilah yang beliau pakai tentang dirinya adalah ‘squeezim’ bukanlah merupakan suatu ide yang muluk-muluk, tetapi sesuatu ide yang telah berinkarnasi dalam hidupnya. Perjuangan dan pengorbanan beliau untuk membesarkan Kerajaan Allah melalui gerakan Reformed Injili Indonesia ini sungguh-sungguh diberkati Tuhan. Banyak agenda, dan ‘proyek’ Kerajaan Allah yang
besar dipercayakan kepada Gerakan yang dipimpin beliau.

Gaya Kepemimpinan pak Tong seperti seorang ‘Conductor’

Secara literal beliau benar-benar adalah seorang conductor musik yang belajar sendiri namun kualitasnya tidak kalah dengan para conductor yang mengecap pendidikan formal. Kelihatannya ada kemiripan antara cara beliau meng-conduct musik dan memimpin Gerakan Reformed Injili. Semua orang, khususnya para Hamba Tuhan yang berada di bawah beliau, yang mempunyai kelebihan dan talenta masing-masing dipimpin beliau dengan sangat anggun, ibarat memimpin sebuah konser
yang sangat agung. Ada harmonisasi dan unity (kesatuan) di dalamnya meskipun kadang-kadang tidak ada uniformity (keseragaman). Beberapa Hamba Tuhan di GRII memiliki persepktif dan cara penjelasan yang berbeda tentang doktrin-doktrin tertentu yang masuk dalam kategori ‘secondary issues’ tetapi perbedaan itu diatur sedemikian rupa tanpa harus ada perpecahan. Beliau tahu kapan alat musik tertentu harus didengar dan kapan alat musik yang lain perlu didengar. Tetapi lebih dari itu semua, kita bisa melihat gerakan ini sperti sebuah orkestra yang sedang dimainkan dengan agung
dan anggun sekali oleh sang Conductor.


Pak Tong adalah ‘inkarnasi’ dari 5 sola

Tanpa bermaksud ‘memberhalakan’ beliau, saya harus jujur mengatakan khususnya bagi para jemaat awam yang selama ini mungkin kurang memperhatikan sejarah reformasi, dengan mudah bisa belajar tentang prinsip-prinsip reformasi gereja melalui hidup, ajaran dan pelayanan beliau.
Artikel singkat ini hanya berisi sedikit hal tentang pak Tong yang ditulis dari perpektif saya. Masih banyak hal lain lagi yang bisa ditulis tentang Pak Tong sebagai pelajaran dan teladan bagi kita. Kita bersyukur kepada Allah Tritunggal yang telah memberikan beliau kepada Gereja Tuhan selama empat generasi ini untuk memperlengkapi umat Tuhan supaya menjalankan peran mereka masing-masing dalam Kerajaan Allah.

Soli Deo Gloria